MENGINTIP
WARISAN BUDAYA LEWOTOLOK
Ritual Pesta Kacang (Utan Wun Lolon)
di Kampung Adat Lewotolok
Kata Kebudayaan
berasal dari bahasa Sanskerta Budhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang
berarti budi atau akal. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan
dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke
generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama
dan politik, adat istiadat, bahasa, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa,
sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia
sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika
seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan
menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Dengan
demikian budaya dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal dan cara
hidup yang selalu berubah dan berkembang dari waktu ke waktu.
Kampung adat Lewotolok
secara administrasi pemerintahan terletak di kaki gunung Ile Lewotolok atau
tepatnya di Desa Amakaka, Kec. Ile Ape, Kab. Lembata tetapi pada umumnya
Lewotolok itu sendiri merupakan rumpun dari desa-desa yang ada di sekitaran
kaki Gunung Ile Lewotolok (Lewotolok lewo
belen). Setiap daerah memiliki budaya dan adat istiadat begitu pula dengan
Lewotolok. Lewotolok itu sendiri memiliki berbagai macam kebudayaan sejak dari
nenek moyang, sayangnya berbagai macam kebudayaan itu hanya ada beberapa saja
yang masih terlihat sampai sekarang.
Pelestarian budaya
warisan leluhur Lewotolok merupakan kecendrungan moral semua anak Lewotolok. Setiap
generasi Lewotolok memiliki tanggung jawab untuk menerima warisan dari generasi
sebelumnya, menjaga dan mememlihara, serta memanfaatkan warisan tersebut tanpa
mengurangi nilai asli warisan budaya leluhur. Sebagai masyarakat yang
berbudaya, orang Lewotolok yang menjadi pusat kampung Tolok Ile Alen gole
memiliki kahsana budaya yang sangat istimewa terutama ketaatan terhadap “ Lera wulan tana ekan, lewo tana rian wetan, sukuekan umalango,
nuba nara kokerbale” yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari (way of
life). Hal ini selaras dengan adanya berbagai tradisi dan ritus yang melekat
erat dalam diri orang Lewotolok mulai dari peristiwa kelahiran, perkawinan sampai
pada kematian. Budaya –budaya itu lahir dalam peradapan leluhur dari setiap suku lango yang Nampak dalam tradisi,
ritus. Beberapa di antarnya antara lain: a) Utan
wun lolon, sawar orok. (b) Pao boe
ama opo koda kwokot (c) Tewu hode,
nawo dopeng ama opo koda kewokot (d) Ohong
lau dai (e) Koda baya ha ana, tetek
bang nawo kebarek (f) Maten murung,
hebo nebo, kayo maten (g) Tula mei
nawa, tapan holoy, tewu hode alang kiring( h) Lou bao, lebek luba, butek teluk, tobung tahik dan masih banyak
lagi budaya lainnya yang belum sempat saya sebutkan. Beberapa budaya di atas
tersebut perlu di lestarikan oleh generasi-generasi penerus. Sadar atau tidak
keberagaman budaya warisan leluhur lewotolok telah menghadapi ancaman
kepunahaan padahal budaya memiliki peran yang hakiki dalam mencapai tujuan
hidup setiap manusia.
RITUAL
PESTA KACANG (UTAN WUN LOLON)
Tahun 2018 merupakan
kali ke dua saya mengikuti ritual ini sejak tahun 2014. Sebagai anak muda
Lewotolok pasti sangat merindukan ini, momen berkumpul bersama seluruh keluarga
besar bahakan sebagian anak muda menjadikan ini sebagai ajang mencari jodoh.
yehh,...namanya juga anak muda. Utan wun
lolon bukan hanya saja sebagai bentuk ucapan syukur atas rezeki selama satu
tahun, lebih dari itu segala unsur nilai-nilai kehidupan masuk di dalamnya.
September 2018 saya
betul-betul memanfaatkan momen ini tepatnya tanggal 18 september saya berangkat
dari kota kupang menuju Kabupaten Lembata menggunakan KMP Ile Labalekan, enam
belas jam perjalanan terasa singkat, rindu akan momen-momen kumpul bersama
keluarga besar mengalahkan segala penat dan mabuk perjalanan. Keikutsertaan
saya kali ini, saya berjanji untuk menceritrakan kepada teman-teman mengenai
ritual ini lewat tulisan yang nantinya akan saya publikasikan lewat blog saya
lamatarotaranblogspot.com. Semoga ceritra ini sedikit memberikan informasi buat
teman-teman sekalian mengenai ritual ini, dari sinilah ceritra itu di
mulai…yukk ikut terus kelanjutanya.
Tahapan-Tahapan
Ritual Utan Wun Lolon
Utan wun lolon merupakan ritual tahunan
masayarakat Lewotolok (3 kampung yakni Amakaka, Tanjung Batu dan Waowala) ini
meencakup 6 suku besar yakni Lamataro, Ladopurap, Sabaleku, Langobelen,
Langoday, dan Lewohokol. Ritual ini dilaksanakan setiap tahun pada awal bulan
September atau minggu terakhir bulan September, penentuan hari H ritual ini
dilakukan oleh kepala suku sabaleku berdasarkan perhitungan bulan Kabisat atau
orang Lewotolok menyebutnya dengan wulan
Lei tou, lei rua dan seterusnya.
Luat watan (welu wua malu)
Peroses ini merupakan
peroses awal dari keseluruhan rangkaian ritual utan wun lolon yang dilaksanakan oleh suku Sabaleku. Perosesnya
berawal dari rumah adat suku Sabaleku menuju watan wai wulan (sumur tua yang terletak di pinggir pantai desa
Amakaka) dengan membawa sirih pinang dan luba
(kendi dari tanah liat tempat mengisi air). Setibanya di watan wai wulan anak gadis dari suku sabaleku yang membawa luba menimba air dari sumur wai wulan dan membuang sirih pinang yang
dibawa dari rumah adat tersebut ke pantai dan membawa pulang air hasil timbahan
tadi ke rumah adat tanpa menoleh ke belakang peroses ini dilaksanakan pagi-pagi
sebelum matahari terbit.
Rekan belait
Rekan
Belait merupakan tahapan kedua dari keseluruhan ritual ini,
dilaksanakan pada keesokan harinya oleh dua suku besar yakni suku Sabaleku dan
suku Langobelen. Rekan belait
merupakan ritual potong nasi tumpeng adat yang dilakukan oleh anak perempuan
dari kedua suku ini, belait tersebut
disimpan diatas liwang(tempat
menyimpan nasi tumpeng adat dari anyaman daun lontar) yang di kelilingi oleh
berbagai buah-buahan. Anak gadis kedua suku ini memotong belait dan memberikan kepada pihak opulake untuk disantap di tempat yang oleh orang Lewotolok
menamainya Koker. Pihak opulake (om atau saudara laki-laki dari
ibu anak gadis masing-masing kedua suku) menyediakan watek (kain tenun adat Lewotolok), baju dan perlengkapan lainnya
untuk diberikan kepada anak gadis sebagai balasan dari belait tersebut. Ritual ini juga memiliki makna mempererat tali
persaudaraan antara opulake dan opuwae. Akhir dari upacara ini, sebagian
belaitnya di antar ke rumah adat suku
lamataro untuk disantap, ini sebagai bentuk penghargaan terhadap suku tuan
tanah Lewotolok.
Haban nakal
Upacara ini
dilaksanakan pada hari ke 3 oleh dua suku besar yakni suku sabaleku dan suku
langoday. Haban nakal merupakan
ritual pasar barter dari kedua suku ini. Suku Langoday menyediakan hasil kebun
seperti, kelapa, pisang dan hasil lainnya sedangkan suku Sabaleku menyiapkan
hasil laut seperti ikan yang sudah di keringkan. Pertemuan kedua suku ini
terjadi di suatu tempat di sebelah timur dari lokasi kampung adat Lewotolok,
konon ajang ini dilakukan oleh anak muda dari dua suku sebagai ajang untuk
mencari jodoh.
Lusi pai atau lusi gere lewo
Doc. safry lamataro. lusi gere lewo dalam ritual utan wun lolon
Ritual ini dilakukan
oleh suku Lamataro dimana lusi itu
sendiri merupakan benda pusaka suku lamataro yang disimpan di rumah adat lango lusi. Lango lusi sendiri terletak
di luar dari kampung adat Lewotolok, sehingga sebelum utan tak (perayaan puncak pesta kacang), lusi tersebut diarak menuju kampung adat Lewotolok dengan diiringi
bunyi-bunyian gong gendang serta tari-tarian. Dalam perjalanan perarakan menuju
kampung adat, ada tempat persinggahan
yakni Rian Wao, disini sudah ada keluarga suku lamataro lainnya yang menunggu
disini. Rian Wao merupakan tempat tinggal suku Lamataro sebelum migrasi ke
kampung adat Lewotolok, jadi untuk diketahui bahwa Suku Lamataro dan Ladopurap
merupakan suku tuan tana Lewotolok yang muncul dari puncak gunung ile lewotolok
(tana tawa ekan gere) dan mendiami
dataran sekitar puncak ile lewotolok kemudian migrasi ke rian wao, lanjut lagi
ke kampung adat Lewotolok.
Sebelum lusi memasuki kampung di terima oleh
suku Langobelen, sebagai belen lewo weran(penjaga
sisi utara kampung adat Lewotolok) lanjut ke suku lewohokol, Langoday,
Ladopurap dan perarakan terus berlanjut menuju ke rumah adat suku Lamataro. Di
sinilah lusi menetap selama peroses
ritual utan wun lolon berlangsung
dengan ditandai pemancangan ranting bambu dan di ikat kain hitam sejenis
bendera di depan rumah adat suku Lamataro. Sebelum kita lanjut ketahap
berikutnya perlu teman-teman ketahui bahwa setiap kepala suku dalam rumpun
kampung adat Lewotolok terlebih dahulu melakukan ritual adat tewu hode ama opo koda kewokot dan pao boe ama opo koda kewokot. Tewu hode ama opo koda kewokot merupakan
ritual memanggil leluhur untuk hadir dalam rumah adat selama peroses ritual utan wun lolon berlangsung, sehingga diyakini semua kegiatan ritual tidak
terlepas dari campur tangan leluhur. Pao boe
ina ama koda kewokot ritual memberi makan leluhur berupa sesajen sedikit nasi,
ikan kering dan tuak (sejenis minuman
keras, air hasil sadapan pohon lontar) yang di tempatkan di tiang kanan rumah
adat (rie wanan) serta diberi
penerangan pada malam hari dengan menyalakan padu. Padu merupakan
sumber penerangan orang Lewotolok tempo dulu dibuat dengan menumbuk biji damar
dicampur kapas dan dililitkan pada sebilah bambu lalu dibakar.
Dorak kedopel
Doc. zafry lamataro. ayam-ayam hasil dorak kedopel suku lamataro
Dorak
kedopel merupakan ritual perburuan ayam di tiga kampung,
yakni kampung Amakaka, Tanjung Batu dan Waowala yang mana hasil buruan nantinya
akan dibakar dan disantap bersama kacang dan nasi di malam utan tak. Biasanya perburuan dilakukan oleh anak muda seluruh
lewotolok dengan dimulai dari ritual menangkap kedopel (ikan kecil yang biasanya dipinggir pantai melompat dari batu satu ke batu yang lainnya)
lalu di bungkus dengan daun lontar dan digantung pada ranting bambu dan di
letakan di nuba (tempat yang dianggap
sakral dan biasanya tempat kepala suku memberi sesajen kepada leluhur ) dekat wai wulan. Ayam hasil perburuan tersebut
dibawa ke kampung adat Lewotolok dan diserahkan ke rumah adat suku Lamataro. Dorak kedopel ini terjadi dua hari
dimana hari pertama dilakukan oleh suku lamataro dan hari kedua dari suku
Sabaleku, perburuan kali ini saya hanya bertugas mengumpulkan ayam-ayam yang
ditangkap oleh anak muda Lewotolok sekitar 60an ekor ayam hasil perburuan di
hari pertama, kata mereka ini hasil perburuan yang lumayan banyak di banding
tahun sebelumnya. Ini ritual yang unik teman-teman, dari sekian banyak ayam
yang di tangkap tak ada satupun warga Lewotolok yang marah, mereka meyakini
bahwa satu atau dua ekor yang di berikan kepada leluhur dan ribu ratu lewotolok maka ayam-ayam
mereka akan bertambah banyak nantinya. Teman-teman harus ke sini, ke kampung
adat Lewotolok berburu ayam ramai-ramai itu seru.
Pao nuba lewo weran dan lewo lein
Ritual ini dilaksanakan
pada malam hari sesaat sebelum proses makan kacang yang dilakukan oleh kepala
suku Lamataro. pao nuba artinya
memberi sesajen pada tempat-tempat tertentu yang di anggap sakral, dan biasanya
ditandai dengan tumpukan atau susunan batu. Lewo
weran artinya sisi utara kampung dan lewo
lein, sisi selatan kampung dimana kedua nuba
ini dipercayai menjaga kampung Lewotolok dari berbagai hal yang tidak
diinginkan.
Utan tak
Doc. safry lamataro. ayam hasil dorak kedopel yang siap dibagikan
Ritual ini merupakan
ritual puncak dari serangkaian ritual yang ada. Ritual ini terjadi pada malam
hari dimulai dari sekitar pukul 06.00, uniknya yang memasak kacang, nasi dan
minyak kelapa dilakukan oleh winay. Winay (suami dari saudari perempuan
dalam suku) ini ditentukan melalui peroses yang unik. Masing-masing suku
memiliki winay tersendiri, untuk
memasak kacang dan nasi. Winay dari
suku Lamataro menghidupkan api dengan cara menggesekan dua bilah bambu sampai
api hidup proses ini oleh orang Lewotolok menyebutnya geheng knehek. Geheng knehek
berjalan dengan lancar apabila semua orang dalam suku memilki ketulusan hati
dan kesamaan pikiran. Apabila ada perselisihan maka walaupun asap terus keluar
dari bilah bambu api tidak akan cepat menyala. Setelah api di tungku utama di
hidupkan maka orang tua dari suku lamataro memberitahukan kepada orangtua dari
suku Ladopurap dan Langoday untuk mengambil api guna memasak kacang dan nasi
yang nantinya akan disantap bersama di rumah adat masing-masing.
Suku langobelen dan
Lewohokol mengambil api di tungku utama suku Sabaleku melalu proses geng knehek yang sama. Winay dari masing-masing suku juga
melakukan proses geng knehek di rumah
adat masing-masing untuk memasak minyak kelapa yang nantinya digunakan untuk
perose haru dulat (pembersihan diri).
Sebagai gambaran teman-teman, ayam hasil dorak
kedopel di bakar di dua rumah adat yakni Lamataro dan Sabaleku yang
nantinya akan di bagikan untuk disantap bersama kacang dan nasi di rumah adat
masing-masing. Untuk suku Ladopurap dan Langoday mengambil ayam dan nasi di
rumah adat suku Lamataro sedangkan suku Langobelen dan Lewohokol di rumah adat
suku Sabaleku.
Setiap laki-laki
Lewotolok yang menyantap kacang malam itu wajib menyebut nama anggota keluarga
laki-laki yang tidak sempat hadir dalam ritual utan wun lolon ini sehingga bagiannya pun ikut dibagikan secara
simbolis. Akhir dari proses ini dengan diskusi bersama di rumah adat
masing-masing.
Uwe tak
Proses ini merupakan
kelanjutan dari ritual utan tak,
ketika proses utan tak itu disantap
oleh kaum laki-laki maka sekarang giliran kaum perempuan. Uwe tak ini dilaksanakan pagi-pagi sekali keesokan harinya dengan
membakar ubi yang nantinya disantap bersama dengan ikan kering yang dibakar.
Peroses ini dilaksanakan dimasing-masing rumah adat.
Nawo lusi
Doc. zafri lamataro. Rian Wao, lokasi persinggahan lusi.
Ritual ini dilaksanakan
oleh suku Lamataro dimana sebelumnya lusi
di arak masuk ke kampung Lewotolok dan menetap di rumah adat suku Lamataro
maka kini lusi di antar kembali ke lango
lusi diringi bunyi-bunyian gong gendang.
Nawo dopeng ama opo koda kewokot
Doc. safry lamataro. rie wanan rumah adat suku Lamataro(Keluli Asan Aman)
Ritual ini dilakukan
oleh masing-masing kepala suku dimana leluhur yang sebelumnya di panggil untuk
datang ke rumah adat, maka kini saatnya untuk di antar kembali ke alamnya yang
oleh orang Lewotolok menyebutnya wokot,
dengan melakukan peket ehang (menggantung
anak ayam pada ranting bambu dan di pasang di depan rumah adat). Dengan
diadakannya ritual ini maka berahkir pula rangkaian ritual utan wun lolon di kampung adat Lewotolok.
Selama proses ritual utan wun lolon
berlangsung, masyarakat Lewotolok melaksanakan sole oha hamang basa ini merupakan tari-tarian adat Lewotolok antara
lain:
Oha
: merupakan tarian adat berbentuk lingkaran yang diselingi sayir-sayir pantun
yang saling berbalasan. Oha ini
dulunya merupakan ajang anak muda Lewotolok untuk mencari jodoh.
Lian
: tarian ini mirip dengan oha hanya saja sayir maupun sastra-sastra lisan yang
di lantunkan berupa teka-teki yang menggambarkan utang-piutang nenek moyang
dahulu. Biasanya satu lantunan teka-teki sastra lisan bisa menghabiskan satu
malam untuk menjawab, ada juga yang tidak bisa di jawab hingga di lanjutkan
tahun berikutnya pada momen ritual utan
wun lolon.
Hedung
: merupakan tarian perang masayarakat Lewotolok, sehingga alat-alat tarinya
berupa parang, tombak dan dopi
(sebilah papan yang di pegang saat menari hedung)
Ketaong
: merupakan tarian silat kampung, tarian ini biasanya diperankan oleh
laki-laki.
Sileken
: tarian dilakukan oleh dua orang yang mana, masing-masing penari memegang
rotan untuk saling memukul betis pasangan.
Sole
oha hamang basa atau segala jenis tari-tarian ini
dilaksanakan di namang kampung adat
Lewotolok. Namang merupakan area luas
tempat dilaksanakannya sole oa hamang
basa, namang sendiri terletak di tenga-tenga kampung.
Harapan
Penulis
Generasi penerus yang
diamanatkan untuk menjaga dan melestarikan budaya leluhur ternyata mengalami
situasi ambigu, “budaya manakah yang semestinya diwariskan budaya leluhur itu
ataukah budaya baru yang asing yang lebih vulgar, hedonis, gengsi, yang serba instan?
Perlu ada refleksi bersama mengapa ketidakpastian generasi penerus dalam
mewariskan budaya warisan leluhur kita. Ini adalah salah satu pokok persoalan
yang harus di carikan solusi terutama dengan membuat regulasi terkait
pelestarian budaya warisan leluhur yang mengikat desa-desa dalam rumpun kampung
Lewotolok, problem lainnya adalah kehilangan nilai asli dari warisan budaya
leluhur yang ada.
Hemat pemikiran saya
bahwa mengangkat isu pelestarian budaya leluhur sebagai hal yang sangat penting
dan mendesak untuk didiskusikan semua pemangku adat Lewotolok dan dapat di buat
regulasinya. Hal lain yang perlu di buat adalah memetakan warisan budaya
leluhur Lewotolok untuk dilestarikan agar dapat bermanfaat bagi seluruh aspek
kehidupan dan mengembalikan nilai-nilai kultural warisan leluhur yang dalam
perjalanan telah banyak berubah. Inilah sekelumit pemikiran dari saya, besar
harapan semoga kita semua yang merasa diri kaum muda Lewotolok menjadi pelopor
penggerak pelestarian warisan budaya leluhur kita, kalau bukan kita, siapa
lagi, kalau bukan sekarang, kapan lagi.
Catatan:
Semoga saya diberikan kesehatan agar bisa menulis masing –masing warisan budaya
Lewotolok yang sempat saya sebutkan dalam tulisan ini. Semoga. Amin.
Oesapa,121218
Komentar
Posting Komentar