CERPEN “ PULANG MALU, TAK PULANG RINDU"
                       Dok. Ilustrasi

         Hari ini merupakan ulang tahun aku yang ke sepuluh, kurang seminggu genap sepuluh tahun ayah pergi meninggalkan aku dan Ibuku. Ayahku merantau ketika aku baru berumur seminggu. Seperti tahun-tahun sebelumnya, ulang tahunku biasa saja tanpa ada potongan kue dan tiupan lilin ulang tahun. Bagiku tak ada bedanya jika tanpa ayah disaat moment seperti itu. Dari Ibuku aku tahu kalau ayahku merantau ke negeri Jiran, seperti laki-lainnya di kampungku. Sebab bagi ayah,  hanya mengandalkan hasil pertanian di lahan yang tandus ini tak ada artinya, paling hanya bisa untuk makan dan minum saja. 
   Berharap hujan emas di negeri orang ternyata jauh panggang dari api, berbekal hanya tamatan sekolah dasar ayahku menjadi kuli sawit dan mendapat penghasilan yang pas-pasan, hingga umurku memasuki sepuluh tahun kehidupan kami biasa-biasa saja, uang yang dikirim ayah hanya cukup untuk makan dan sedikit untuk biaya sekolah aku yang terbilang puluhan ribu persemesternya.
     Satu-satunya cara untuk komunikasi dengan ayah lewat handpone milik tetangga dan malam itu memang benar ayah mau menelpon ketika malam sebelumnya dia sudah berjanji akan telpon di hari ulang Tahunku. “Malam Ana, apa kahbar nak, selamat ulang tahun ya, maaf bapa belum bisa memberikan apa-apa, papa hanya doa moga kamu jadi anak yang berbakti pada orang tua dan takut akan Tuhan” kata ayah mengawali percakapan kami malam itu. “ Terima kasih Ayah, aku baik-baik saja, doa Ayah sudah lebih dari cukup. Ayah juga baik-baik saja kan?” kataku. Malam itu kami ngobrol cukup lama, hingga akhirnya ayah mau pamit untuk istirahat dengan menanyakan kabar Ibu, “Ibu baik-baik saja ayah” jawabku, setelah pamitan, akupun mengembalikan handpone milik tetangga tadi. 
       Ibuku, panggil saja Ina namanya(toh kalian juga tidak mengenalnya), bekerja sebagai ibu rumah tangga yang hanya mengharapkan uang yang dikirim ayah tiap bulannya. Di kampungku perempuan yang suaminya merantau biasa dipanggil dengan sebutan Jamal atau Jakal sesuai dengan nama tempat suaminya merantau. Dari dulu aku sudah mendengar sebutan itu tapi ketika aku sudah semakin dewasa aku tidak suka dengan sebutan itu, jamal alias janda Malaysia terkesan negatif di telingaku. Belum lagi dengan gosip-gosip miring yang kudengar dari ibu-ibu di kampungku “ itu si jamal mamanya Ana, lakinya sudah sepuluh tahun pergi, lihat sekarang dia dekat sama si Arman” kata si Ibu gendut itu. Aku si cuek saja sebab aku tahu Ibuku tidak seperti itu, Ibuku tidak selingkuh saja sudah digosip seperti itu, apa lagi selingkuh mungkin aku tak bisa keluar rumah sebab kemana-mana selalu di-bully. Ibuku sendiri juga mendengar gosip-gosip miring seperti itu, tapi ia tidak mau meladeni mulut-mulut yang asal ngomong itu, dia sadar resiko jadi jamal seperti itu, toh itu juga bukan pilihannya hanya tuntutan ekonomi yang membuat ayahku harus merantau dan dia jadi jamal.
               Malam itu aku lagi belajar ketika pintu rumah diketuk, aku bergegas ke depan membukakan pintu, “malam Ana, ini ada telepon dari ayahmu” kata kakak perempuan anak tetangga itu sambil menyodorkan handpone, “ oh ia kk, terima kasih” jawabku. Aku langsung ke dapur menyerahkan handpone ke Ibu. Selang beberapa menit Ibu menghampiriku sambil bilang “ayah mau bicara sama kamu nak”. 
Ayah : “ hallo Ana, sudah makan belum? Kamu lagi apa Nak,.
Ana : “ sudah Ayah, aku lagi belajar. Ayah sudah makan belum?
Ayah : “ Ayah juga sudah makan. Kamu rajin belajar, ingat jangan nakal yah Ana” setelah sekian lama ngobrol akhirnya aku beranikan diri untuk bertanya pada ayah.
Ana : “Ayah, boleh aku bertanya Ayah? Kapan Ayah bisa pulang, aku rindu Ayah, aku iri lihat teman-temanku yang selalu bermain dengan Ayah mereka, sedangkan aku, ketemu Ayah saja belum pernah”.
Ayah : “Ana, nanti juga ayah pulang, sekarang belum bisa nak, uang Ayah belum cukup untuk pulang, lagian Ana kan sudah sekolah, Ayah harus kirim uang untuk kalian sayang”.
Ana : “Ia Ayah, tapi aku takut kehilangan Ayah, kemarin tetangga kita yang meninggal sudah dikirim pulang Ayah, dikirim dalam peti, tertidur kaku Ayah, aku takut.
Ayah : “Ayah pasti pulang, doakan Ayah biar secepatnya pulang yah sayang, setidaknya Sambut barumu nanti Ayah suda di situ” begitulah ayah berjanji bahwa ia akan pulang tahun depan ketika aku sambut baru. Biasanya orang-orang di kampungku akan pulang kalau anak mereka sudah mau sambut baru, atau paling anak mereka sudah masuk Sekolah Menenga Pertama. 
        Kemarin tetanggaku dikirim pulang dalam keadaan jasad kaku, terbaring dalam peti mati, dengan jahitan - jahitan di tubuhnya kata orang-orang kampung ia korban “human trafickking”, aku terlalu kecil untuk mengerti itu, aku tak salahkan siapa-siapa, aku terlalu kecil. Ini bukan kali pertama, sudah beberapa orang yang dikirim pulang dalam keadaan jazad kaku. Pernah juga dikirim pulang dalam rombongan, kata Ibuku mereka dipulangkan, diberi uang seadanya lalu pulang kampung, ketika uang itu habis mereka berangkat lagi sebab apa yang di harapkan di kampung, dengan hanya tamatan Sekolah Dasar. Aku juga tidak tau siapa yang mengirim mereka pulang, lalu siapa yang bertanggung jawab dengan jasad-jasad kaku itu, aku terlalu kecil mengerti akan ini. Aku hanya berdoa moga Ayahku tidak mengalami hal seperti ini.
         Hari-hari berikutnya, gosip tentang Ibuku semakin sering ku dengar hingga hari itu aku benar-benar hampir tak percaya, di depan beberapa orang tua yang duduk di ruang tengah rumah kami itu, sambil menangis ku dengar dari sela isak tangis Ibuku kalau ia Hamil, aku benar- benar tak percaya, aku ikut menangis sejadinya, aku jadi sedih melihat Ibu menangis ku peluk ia dengan erat antara sedih dan takut kehilangan. “Jangan terlalu menangis, ini semua merupakan keputusanmu cepat atau lambat kamu harus ke rumah suami kamu itu, kamu sudah tidak menjadi bagian dari keluarga ini”. Kata orang tua itu disela isak tangis aku dan ibuku. 
   Beberapa hari ini aku jadi murung, menghabiskan hari-hari di dalam kamar sehabis pulang sekolah, sebab aku di-bully oleh teman-temanku sehingga aku malas untuk keluar rumah. Sebenarnya sedikitpun aku tidak membenci Ibuku sebab bagaimanapun ia tetap Ibuku yang melahirkanku dan membesarkanku selama ini. Aku tau ia hanya seorang perempuan lemah yang tak kuasa menahan rayuan laki-laki, perempuan yang hanya dijadikan objek seksual laki-laki, dan untuk seorang perempuan muda yang sudah sepuluh tahun ditinggal Ayahku bagaimana mungkin dia menahan kebutuhan biologisnya selama ini, untuk itulah sedikitpun aku tidak memebencinya. 
        Hari ini merupakan hari yang sangat berat bagiku, hal yang selama ini kutakutkan bahwa akan berpisah dengan orang – orang yang kucintai benar-benar terjadi, orang tua itu datang lagi, kali ini dengan tujuan untuk mengantar Ibuku ke rumah Suami barunya. Sedangkan aku harus tinggal bersama dengan Kakek dan Nenekku, Ayah dan Ibu dari Ayahku. Aku menangis, meratapi kepergian Ibuku tapi tangan-tangan yang menahanku begitu kuat, begitu juga dengan Ibuku, ia menangis sejadinya tapi mau bagaimana lagi adat di kampungku sudah mengaturnya demikian bahwa anak menjadi hak sepenuhnya kaum laki-laki dan istri harus pergi dan tinggal bersama suami barunya dan akhirnya aku mengerti orang tua itu adalah tua-tua adat di Kampungku. Selain tugas mereka mengurus soal adat perkawinan mereka juga bertugas memisahkan anak-anak dari Ibu mereka sendiri begitulah kira-kira pemikiranku, anak dengan usia sepuluh tahun. 
             Jangan tanya lagi perasaanku, jauh dari sosok Ayah dan dipisahkan dari Ibu dengan usia yang masih hijau bukan hal yang muda, sungguh sulit dan menyiksa. Kujalani saja hari-hari selanjutnya tanpa orangtua, hingga suatu hari Ayah menelpon, cuma mau mengabari kalau Ia belum bisa pulang, ya aku tahu Ayah tak mungkin pulang sebab bagi Ayah, pulang malu, tak pulang rindu.

  Catatan : 
Sambut baru : sebutan lain penerimaan sakramen ekaristi dalam agama Katolik.
Human trafickking : Segala bentuk jual beli terhadap manusia, dan juga ekploitasi terhadap manusia itu sendiri seperti pelacuran ( bekerja atau layanan paksa) perbudakan atau praktek yang menyerupainya, daan juga perdagangan atau pengambilan organ tubuh manusia.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pantai Wera Belahaken, Destinasi Wisata Baru di Desa Waowala.