Cerpen "TANGISAN
DI NERENG"
Gerakan 30 september PKI baru saja terjadi beberapa hari yang lalu, dari
radio terdengar berita adanya usaha sekelompok orang yang mengkudeta republik
ini dengan menculik dan membunuh beberapa jendral hingga berita ini menyebar
luas begitu cepat sampai ke pelosok negeri. Jauh di ujung timur Indonesia, di kampung kecil itu hiduplah Ama Ola bersama istri dan kedua anak perempuanya Kewa
dan Barek, yang sulung berumur 12 tahun dan yang bungsu berumur 8 Tahun. Ama Ola
bekerja sebagai petani seperti masyarakat di kampung itu pada umumnya.
Kehidupan mereka sebagai petani terbilang pas-pasan dengan jagung sebagai hasil
utama pertanian dan kampung itu jauh dari keramaian kota sehingga hasil
pertaniannya hanya cukup untuk makan sehari – hari, sesekali mereka menjualnya
di pasar itupun tidak terlalu banyak. Orang-orang di kampung itu hidup
berdampingan satu dengan yang lain. Seperti para petani pada umumnya
orang-orang di sini pada pagi hari mereka semua pergi ke kebun dan akan pulang
pada sore menjelang malam hari.
Ketika siang hari yang terik ataupun ketika hujan turun terus menerus
mereka akan duduk di pondok sambil menikmti jagung goreng serta tuak. Mereka
ngobrol ngorol ngidul dari hasil panen yang tak menentu sampai pada Nina janda
kembang di kampung yang ditinggal suaminya karena merantau. Siang itu di luar
hujan baru saja turun dengan lebatnya, masi ada gerimis yang turun, di pondok
ama Ola itu ada beberapa orang tua lainnya mereka berceritra tentang beberapa
teman mereka ada yang protes karena tak kebagian alat-alat pertanian seperti
parang, arit dan cangkul yang dibagikan oleh ama Ola kemarin. Ama Ola sendiri
sebagai ketua dari sekelompok petani ini mendapatkan bebrapa alat pertanian
dari temannya di kampung sebelah dan ia membagikan kepada mereka.
“Ku dengar para jendral dibunuh bebrapa hari yang lalu, dan ada
sekelompok orang ingin mengambil alih pemimpin negeri ini” kata laki-laki yang
paling tua yang duduk di ujung tikar
yang digelar di atas tanah, ia biasanya lebih tauh soal keadaan di kota sebab
ia memiliki radio tua bekas peninggalan kakeknya dari jaman kolonial. “tapi
kita tidak termasuk dalam golongan orang –orang itu bukan?” katanya lagi, semua
diam, tiba-tiba ama Ola berkata dengan suara tegas “Tidak!! Kita tidak sedang
merencanakan sesuatu untuk menggulingkan Kepala Sira dari tugasnya sebagai
kepala kampung, Tidak!! Sebab kita juga tidak menculik orang-orangnya Kepala Sira.
Semuanya tambah diam hanya bunyi gigi yang beradu dengan biji jagung goreng
keras, sekeras selongsong peluru. Di luar huajn sudah reda, gerimis tak lagi
ada, satu persatu mereka semua bubar tanpa ada satu kata keluar dari mulut
masing-masing.
Keesokan harinya menjelang sore hujan turun lagi dengan derasnya,
seperti biasa ketika semua pekerjaan mereka sebagai petani selesai, mereka
semua berkumpul di pondok ama Ola. Jagung dan tuak menjadi menu andalan mereka
dikala hujan dan tidak pernah absen dari hadapan mereka, kali ini janda
kembang di kampung bukan menjadi topik pembicaraan mereka sebab berita dari pak
tua kemarin menjadi topik yang lebih hangat. “orang –orang di kota banyak yang
sudah ditangkap, bahakan sebagian di eksekusi tanpa sebab” kata laki –laki
berambut keriting memecah kebuntuaan diantara mereka. “ aku dengar dari tetangga
kalau kita dikait-kaitkan dengan orang –orang di kota itu” kata laki-laki yang
lainnya, semua orang diam dengan wajah tegang, yang berambut keriting itu
berkata lagi “ apa mereka yang dikota yang ditangkap itu menerima alat
pertanian seperti kita?” semua tetap diam, ama Ola menghisap tembakaunya
dalam-dalam sambil berkata “tidak, sebab mereka di kota, kumpulan para buruh
yang berkumpul untuk menentang pemilik pabrik, kaum kapitalis yang tidak
memberikan upah mereka, yang menggusur tanah mereka, mereka itu revolusioner
yang melawan bandit-bandit kapitalis, lalu kita? Kau bilang revolusioner?
Revolusi jagung, revolusi tuak? Revolusi tidak ada di kampung ini kawan”. Semua
tetap diam, hujan sudah berhenti dan satu persatu pergi tanpa kata.
Malam itu diterangi cahaya lampu pelita ama Ola makan bersama istri dan
anak-anaknya, selesai makan ketika hendak istrirahat, Kewa anak sulungnya
bertanya “ ayah siang tadi ketika bermain teman-temanku semua manjauhuiku” “kenapa?”
Tanya ayahnya. “Mereka bilang ayah komunis, ibu gerwani kita keturunan PKI”.
Ama Ola terdiam, “ ayah apa betul itu? apa Komunis itu ayah” tanyanya dengan
lugu. “komunis itu seperti ayah, yah seperti ayah yang membagikan parang, arit
dan cangkul secara cuma-cuma ke para petani” oh begitu ya, katanya lugu. “Ia
nak, tidurlah” . “tapi aku takut ayah dengan orang – orang yang berseragam hijau
dan cokelat itu ayah, kata teman-temanku mereka akan menangkap kita” rengeknya
lagi. “jangan takut nak, masih ada ayah. Mungkin tidak ada lagi pekerjaan mereka
setelah penjajah pergi”. Kewa dan adiknya pun pergi di temani ibu mereka. Ama Ola
terdiam sambil menghisap tembakaunya dalam-dalam.
Malam berlalu begitu cepat, ketika siang hari di pondok ama Ola,
ketakutan menyelimuti wajah teman-temanya sebab berita penangkapan itu menyebar
luas bahakan isu mereka sebagai orang-orang komunis begitu ramai terdengar,
dari gosip ibu-ibu dipasar sampai seluruh kampung baik yang tua maupun yang
muda. Sebenanrnya Ama Ola dan teman-temanya sedikitpun tidak mengenal siapa itu
Karl Marx, janganakan Karl Marx, Tan Malaka, Semaun pun mereka tidak mengenal
sama sekali. Apa lagi buku-bukunya, tidak ada bendera palu dan arit di rumah
mereka ataupun sekedar gambar di dinding rumah, tapi mereka dicap komunis? Ya,
mereka komunis. Komunis karena menerima alat-alat pertanian itu.
Penangkapan dan pembunuhan orang –orang komunis benar-benar sampai ke
kampung ama Ola, maka malam itu semua teman ama Ola berkumpul di rumahnya. Mereka
menyepakati pukul 20.00 mereka bersama keluarga masing-masing menuju suatu
tempat yakni Nereng atas usul teman-teman dari tetangga kampung yang semuanya
adalah para petani penerima dan pembagi alat-alat pertanian itu. Menjelang
tengah malam semuanya sudah berkumpul di Nereng meninggalkan rumah dan kampung
halaman mereka masing-masing. Pukul 06.00 pagi mereka dikagetkan dengan bunyi
tembakan yang beruntun, tentara-tentara itu memberondong mereka begitu liarnya
seolah-olah yang dihadapi adalah penjajah belanda, teriakan ketakutan dan tangisan perempuan serta anak-anak bercampur
jadi satu, Nereng hancur lebur, ama Ola dan teman-temannya membela diri
seadanya maka pecalah perang Nereng, perang yang kelak tidak di catat dalam
sejarah bangsa sebab bukan perang melawan penjajah tapi hanya terpatri dalam
ingatan orang –orang yang di anggap komunis. Korban berjatuhan, tentara-tentara
itu semakin beringas, memberondong mereka dengan membabi - buta hingga ama Ola
dan teman-temannya lari meninggalkan Nereng.
Ketika ama Ola dan dan teman-temannya meninggalkan Kampung mereka, rumah
mereka di jarah dan dibakar, semua barang-barang berharga mereka diambil oleh
orang –orang kampung yang menamakan diri mereka anti komunis mereka bersorak
kegirangan seperti perajurit yang menang perang, edan memang, anti komunis tapi
kelakuan beda-beda tipis dengan komunis.
Setelah beberapa hari di tempat pelarian mereka memutuskan untuk pulang
ke kampung halaman, apapun terjadi tekad mereka sudah bulat sembari berharap
masih ada keluarga anti komunis yang menerima mereka. Maka pagi itu mereka
semua pulang tapi masi dalam keadaan was-was, ketika sampai di ujung kampung
ternyata orang-orang kampung sudah menunggu mereka, tampak kepala Sira juga ada
di sana. Kepala Sira merupakan Kepala Kampung tempat di mana ama Ola tinggal.
Karena ia Kepala Kampung maka orang-orang biasa memanggilnya dengan sebutan
Kepala Sira. Orang-orang kampung itu menolak kedatangan mereka, berbagai macam
makian dan umpatan ditujukan kepada ama Ola dan teman-temannya, beruntung ada Kepala
Sira di sana ia menerima mereka dan ia sendiri sebagai jaminan sebab ia yakin
ama Ola dan teman-temannya itu bukan antek PKI, ya hanya dia satu-satunya orang
yang percaya itu.
Ama Ola sekeluarga akhirnya menetap di rumah salah satu keluarganya,
istri dan anak-anaknya lebih banyak di rumah semenjak pulang dari Nereng sebab
di luar sana mereka di kucilkan, mereka betul-betul tertekan kemana-mana selalu
di awasi, hingga suatu malam sebuah mobil dengan bak terbuka itu menjemput ama
Ola, tampak di dalam mobil sudah ada teman –temannya di sana. Tangan mereka
diikat dan mata mereka ditutup dengan kain hitam. Ia baru sadar ketika kain
penutup mata mereka di buka kalau mereka ada di dalam sel Kantor Polisi, sebab
orang –orang itu berseragam cokelat serta ada tulisan polisi di lengannya. Tiba-tiba
seorang laki-laki yang keluar dari ruang memberi perintah kepada anak buahnya,
“sampaikan kepada keluarga mereka masing-masing kalau besok pagi pukul 05.00
mereka dieksekusi” “siap komandan” jawab anak buah itu dengan tegas. Seorang
lagi mengambil kertas dan pulpen dan memberikan kepada mereka sambil berkata,
“tulislah mungkin itu bisa menjadi pesan terakhir buat keluarga kalian” ama Ola
mengambil kertas itu, ia menulis dengan cepat, melipat kembali dengan rapi dan
memberikan kpeada polisi itu sambil berkata “tolong berikan ini pada istriku”.
Pukul 07.00 pagi istri ama Ola menerima sepucuk surat, dengan cepat ia
masuk ke dalam kamar, di dalam kamar kedua anaknya sedang berbaring, dengan perasaan
yang tak menentu ia dan anak-anaknya membaca surat itu “ Teruntuk istri dan
anak-anakku yang tercinta, ketika kalian membaca surat ini ayah sudah tidak ada
lagi, jangan sedih ayah akan selalu melihat kalian dari alam sana, anak-anaku
sayang jangan malu punya ayah seperti saya yang di cap sebagai seorang komunis,
sebab ayah tidak membunuh jendral, tidak juga mengkudeta republik ini, mereka
hanya membunuh seorang petani miskin di kampung paling timur republik ini” setelah
membaca surat itu ia memeluk anak-anaknya sambil menangis sejadi-jadinya,
ketiganya larut dalam kesedihan yang dalam, hujan air mata menyelimuti mereka.
Mantap sekali cerpen ini, Bai. Apakah ini kisah nyata, Bai? Karena Tragedi Nereng menjadi latar belakang cerita ini...
BalasHapusbeberapa nama fiktif hanya cerpen ini sedikit mengangkat kembali kisah perang Nereng dulu nana, mohon di bagikan d fb ew nana .tabe su mampir di blog saya nana,ohon baca juga tulisan lainnya,makasih nanak senaren...
HapusBagus abng,,,,
BalasHapusSukses untuk karya2 abng kedepannya,,,,
Terima kasih ama.
HapusBisa share isah perang Nereng?
Hapus